Sebagai warga negara Indonesia, saya
sedikit tersinggung ketika kebanyakan dari kita lebih mementingkan ranah
ekonomi dan politik untuk menghadapi MEA yang segera bergulir pada akhir tahun
ini. Bahasa hampir tak dipandang seakan-akan dia tak bermakna dan tak berperan.
Apakah sesungguhnya bahasa, khususnya bahasa Indonesia, tak bisa ikut ambil
bagian dalam MEA? Untuk apa sebenarnya MEA?
Seperti
kita ketahui, MEA merupakan corong bagi warga ASEAN untuk melebur dalam
perekonomian yang hampir tak ada batas. Semua bebas bergerak, berinovasi,
berdagang, dan bertransaksi. Maka itu, negara-negara lain sejak dini, seperti
Vietnam, Thailand, Myanmar, dan Filipina sudah serius mempersiapkan diri untuk
MEA 2015 melalui pelatihan bahasa Indonesia bagi tenaga-tenaga kerjanya di
samping bahasa Inggris.
Sebagaimana
diungkapkan Chairperson Enciety Business Consult Kresnayana Yahya bahwa
sejumlah negara ASEAN telah jauh-jauh hari belajar bahasa Indonesia untuk bisa
masuk pasar Indonesia.
Menaklukkan atau Ditaklukkan?
Hal
itu logis sebab cara utama untuk masuk dan menaklukkan sebuah bangsa adalah
melalui penguasaan bahasa, sastra, dan budaya, bukan kekuatan militer.
Nah,
sekarang, peran mana yang akan kita pilih, menaklukkan atau ditaklukkan bangsa
lain? Jujur saja, ini bukan tentang pesimisme, hanya memang jika melihat
gejala-gejala sejauh ini, kita dominan lebih memilih ditaklukkan daripada
menaklukkan. Mengapa? Orang lain sudah sibuk mempelajari apa-apa tentang kita,
tetapi kita justru “bangga” mereka melakukan itu tanpa memasang kuda-kuda yang
baik.
Padahal,
sejatinya melalui MEA ini kita bisa menaklukkan bangsa lain melalui
internasionalisasi bahasa Indonesia. Hal itu tak berlebihan karena UU kita
sendiri mengamanahkan perjuangan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa
internasional. Pasal 44 UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang
Negara, dan Lagu Kebangsaan menyatakan, ayat (1) “Pemerintah meningkatkan
fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap,
sistematis, dan berkelanjutan.“ Disambung ayat (2), “Peningkatan fungsi bahasa
Indonesia menjadi bahasa internasional, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
“dikoordinasi oleh lembaga kebahasaan.“
Artinya,
menginternasionalisasikan bahasa Indonesia tidak sekadar amanah, tetapi juga
sebagai kewajiban. Untungnya, apalagi menjelang MEA 2015 ini, bahasa Indonesia
sudah semacam lingua franca di Asia Tenggara karena bahasa Indonesia merupakan
pedewasaan dari bahasa Melayu. Seperti kita tahu, bahasa Indonesia berasal dari
bahasa Melayu. Tersebutlah para pemuda kita dengan bangga mengangkat bahasa
Melayu sebagai bahasa Indonesia meski sebenarnya orang Jawa lebih banyak
daripada orang Melayu. Semula, Yamin sebenarnya mengusulkan bahasa Melayu,
bukan bahasa Indonesia, dengan alternatif bahasa Jawa. Akan tetapi, Sanusi Pane
menolak dan harus menyebutnya sebagai bahasa Indonesia.