Selasa, 19 April 2016

BANGGA DENGAN BAHASA INDONESIA

Sebagai warga negara Indonesia, saya sedikit tersinggung ketika kebanyakan dari kita lebih mementingkan ranah ekonomi dan politik untuk menghadapi MEA yang segera bergulir pada akhir tahun ini. Bahasa hampir tak dipandang seakan-akan dia tak bermakna dan tak berperan. Apakah sesungguhnya bahasa, khususnya bahasa Indonesia, tak bisa ikut ambil bagian dalam MEA? Untuk apa sebenarnya MEA?
Seperti kita ketahui, MEA merupakan corong bagi warga ASEAN untuk melebur dalam perekonomian yang hampir tak ada batas. Semua bebas bergerak, berinovasi, berdagang, dan bertransaksi. Maka itu, negara-negara lain sejak dini, seperti Vietnam, Thailand, Myanmar, dan Filipina sudah serius mempersiapkan diri untuk MEA 2015 melalui pelatihan bahasa Indonesia bagi tenaga-tenaga kerjanya di samping bahasa Inggris.
Sebagaimana diungkapkan Chairperson Enciety Business Consult Kresnayana Yahya bahwa sejumlah negara ASEAN telah jauh-jauh hari belajar bahasa Indonesia untuk bisa masuk pasar Indonesia.
Menaklukkan atau Ditaklukkan?
Hal itu logis sebab cara utama untuk masuk dan menaklukkan sebuah bangsa adalah melalui penguasaan bahasa, sastra, dan budaya, bukan kekuatan militer.
Nah, sekarang, peran mana yang akan kita pilih, menaklukkan atau ditaklukkan bangsa lain? Jujur saja, ini bukan tentang pesimisme, hanya memang jika melihat gejala-gejala sejauh ini, kita dominan lebih memilih ditaklukkan daripada menaklukkan. Mengapa? Orang lain sudah sibuk mempelajari apa-apa tentang kita, tetapi kita justru “bangga” mereka melakukan itu tanpa memasang kuda-kuda yang baik.
Padahal, sejatinya melalui MEA ini kita bisa menaklukkan bangsa lain melalui internasionalisasi bahasa Indonesia. Hal itu tak berlebihan karena UU kita sendiri mengamanahkan perjuangan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. Pasal 44 UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan menyatakan, ayat (1) “Pemerintah meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan.“ Disambung ayat (2), “Peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) “dikoordinasi oleh lembaga kebahasaan.“
Artinya, menginternasionalisasikan bahasa Indonesia tidak sekadar amanah, tetapi juga sebagai kewajiban. Untungnya, apalagi menjelang MEA 2015 ini, bahasa Indonesia sudah semacam lingua franca di Asia Tenggara karena bahasa Indonesia merupakan pedewasaan dari bahasa Melayu. Seperti kita tahu, bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Tersebutlah para pemuda kita dengan bangga mengangkat bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia meski sebenarnya orang Jawa lebih banyak daripada orang Melayu. Semula, Yamin sebenarnya mengusulkan bahasa Melayu, bukan bahasa Indonesia, dengan alternatif bahasa Jawa. Akan tetapi, Sanusi Pane menolak dan harus menyebutnya sebagai bahasa Indonesia.



Unknown

About Unknown

I'm just beliebers

Subscribe to this Blog via Email :