Ujaran kebencian adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain.
Dalam arti hukum, Hate speech adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku Pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut. Website yang menggunakan atau menerapkan Hate Speech ini disebut Hate Site. Kebanyakan dari situs ini menggunakan forum internet dan berita untuk mempertegas suatu sudut pandang tertentu.
Pada tanggal 08 Oktober 2015 Kepolisian Republik
Indonesia (Polri) telah mensosialisasikan Surat Edaran (SE) Nomor
SE/6/X/2015 kepada seluruh anggota Polri tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate
speech) yang ditandatangani Kapolri Badrodin Haiti. Tujuannya agar anggota Polri memahami dan mengetahui bentuk-bentuk
ujaran kebencian diberbagai media dan kegiatan publik yang berpotensi
menimbulkan konflik horizontal.
SE ini merujuk,
antara lain, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No 2/2002 tentang Polri, UU No 12/2008
tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, UU No
11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No 40/2008 tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta UU No 7/2012 tentang Penanganan
Konflik Sosial.
Menurut surat edaran tesebut, ujaran kebencian (hate speech) adalah tindak pidana yang berbentuk, penghinaan, pencemaran nama
baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut,
penyebaran berita bohong, dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa
berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau
konflik sosial.
Aspeknya meliputi suku, agama, aliran
keagamaan, keyakinan dan kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis,
gender, kaum difabel, dan orientasi seksual.
Ujaran kebencian dapat melalui media kegiatan
kampanye, spanduk atau banner,
jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum atau demonstrasi,
ceramah keagamaan, media massa cetak maupun elektronik, dan pamflet.
Dari poin-poin diatas, potensi
terbesar sumber Ujaran Kebencian (hate speech) adalah melalui media
sosial seperti Twitter dan Facebook serta blog-blog independen.
Media sosial seperti Twitter dan
Facebook adalah inovasi terbesar awal abad 21 ini. Tidak hanya sebagai media Conecting dan Sharing,
media sosial mampu
melakukan perubahan besar seperti revolusi "Arab Spring" di Timur
Tengah juga menjadi media kampanye politik yang efektif, seperti pada
pemilihan presiden (Pilpres) AS yang menjadikan Barack Obama Presiden
Kulit Hitam pertama di negeri Paman Sam atau yang
menghantarkan "tukang kayu" dari Solo menjadi RI-1 pada Pilpres
Indonesia 2014.
Seperti hukum alam, selalu ada
sisi positif dan negatif, media sosial pun demikian. Sisi negatif media sosial
adalah maraknya hate speech di lini-masa setiap harinya yang
berpotensi menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat.
Publik pasti akan
mendukung upaya Polri untuk menangkal konflik akibat ungkapan yang
menimbulkan kebencian di ruang publik, apalagi jika dilihat dari kacamata
kebangsaan, Indonesia sebagai negara yang heterogen.
Namun, SE Kapolri ini
jangan sampai disalahgunakan oleh oknum-oknum untuk melakukan
kriminalisasi terhadap individu dan kelompok masyarakat karena
alasan-alasan tertentu atau digunakan oleh pemerintah untuk membungkam
lawan-lawan politik dan masyarakat warga (civil society). Jika
terjadi penyalahgunaan fungsi dari SE tersebut, maka Indonesia akan kembali ke
jaman kegelapan seperti di era Orde Baru, yakni
"dikebirinya" kebebasan berpendapat.
LATAR BELAKANG DITERBITKANNYA SURAT EDARAN
Menurut
Badrodin, pembahasan hate speech sudah dimulai sejak zaman Wakil Kapolri
dijabat Nanan Soekarna pada periode Maret 2011 - Agustus 2013.
“Kami
mengadakan pembahasan di seminar-seminar,” kata Badrodin.
Setelah
lebih dari lima tahun pembahasan, akhirnya Polri sampai pada kesimpulan bahwa
surat edaran mengenai ujaran kebencian harus segera dikeluarkan. “Lebih cepat
lebih baik,” katanya.
Karena
itu, Badrodin akhirnya menekennya dan mengirimkan surat tersebut hingga ke
tingkat Polsek. Keputusan ini juga diambil setelah berdasarkan evaluasi,
jajaran di bawah masih ragu menerapkan pasal hate speech yang sebelumnya diatur
dalam KUHP tersebut.
Ujaran
kebencian diatur di pasal 310, Pasal 311, 315, 317, dan 318 KUHP.
Apa latar
belakangnya?
Menurut
Kapolri sudah banyak contoh bahwa ujaran kebencian telah menjadi bibit konflik.
“Seperti kejadian kemarin, waktu JakMania rusuh,” katanya.
Kepolisian
Daerah Metro Jaya sebelumnya memproses hukum 10 orang yang diduga JakMania,
sebutan untuk suporter Persija Jakarta, atas aksi pengrusakan dan seorang
lainnya yang diduga sebagai penghasut massa lewat pesan pendek, dalam laga
partai final Piala Presiden yang mempertemukan Persib Bandung dan Sriwijaya FC.
Persib
adalah musuh bebuyutan Persija yang harus berlaga di Stadion Gelora Bung Karno,
Jakarta. Kejadian
seperti itu, menurut Badrodin, terus berulang dan kerap menimbulkan keresahan
di masyarakat.
Siapa saja yang bisa
terjerat?
Badrodin
mengatakan bahwa surat edaran ini untuk memperjelas perbedaan antara dimensi
ujaran kebencian dan kebebasan berekspresi.
“Ujaran
kebencian itu yang mengarah pada pengrusakan, penghasutan, dan sebagainya,”
katanya.
Jadi,
menurut Badrodin, hanya mereka yang melakukan hasutan mengarah pada pengrusakan
saja yang bisa terjerat.
Dalam
salah satu poin surat edaran, Kapolri juga menegaskan bahwa media ujaran
kebencian salah satunya adalah ceramah keagamaan. Seperti apa ceramah
keagamaan yang dimaksud Kapolri?
“Semua
ceramah yang mengajak pada gerakan pengrusakan,” katanya.
Jika
sudah ada ajakan untuk bergerak, penghasutan, maka ceramah tersebut bisa
tergolong ujaran kebencian.
Bagaimana
dengan khatib shalat Jum'at yang kerap berceramah soal mengkafirkan agama lain?
“Itu tidak termasuk hate speech, itu kan menyampaikan apa yang ada di kitab
suci,” ujarnya.
Lalu
bagaimana dengan ceramah yang dilakukan pemuka agama di kelompok-kelompok agama
seperti Front Pembela Islam (FPI) yang kerap melontarkan kritik keras pada
kelompok lain atau presiden?
“Itu
kan delik aduan, kalau dia menghina presiden. Asal jangan menghasut,” katanya.
Sebagai seorang netizen,
dengan adanya SE Kapolri ini tentu kita akan lebih berhati-hati membuat tulisan atau
menyebarkan berita. Namun tetap, tidak boleh kehilangan sikap kritis terhadap
permasalahan-permasalahan sosial yang ada disekitar.
Mengutip buku Kang Pepih Nugraha,
berjudul Citizen Journalism, Menurut Kang Pepih, selama netizen dan pewarta warga
mampu mencegah "Tujuh Dosa Besar", maka aman untuk mengaktualisasikan
diri lewat tulisan di dunia maya.
Meskipun tujuh dosa besar ini
ditujukan kepada pers media mainstream, tetapi menjadi dasar moral citizen
reporter untuk bekerja atau menulis.
Ketujuh besar itu ialah :
1. Penyimpangan informasi
2. Dramatisasi fakta
3. Serangan privasi
4. Pembunuhan karakter
5. Eksploitasi seks
6. Meracuni pikiran anak
7. Penyalahgunaan kekuasaan
Masih menurut buku Citizen
Journalism Kang Pepih Nugraha, seorang Pewarta Warga selain harus
menghindari "tujuh dosa besar", juga harus memiliki etika ketika
berinternet. Kang Pepih menyebutnya dengan Netiket.
Netiket berasal dari kata networks dan etiquette, bila
disatukan menjadi nettiquette, yang untuk mudahnya jika
dibahasa indonesiakan menjadi netiket. Prinsipnya sama seperti
etiket atau sopan santun pada umumnya, hanya saja ranahnya ada di dunia maya.
Menurut Kang Pepih, ada 10
netiket yang harus diketahui para pewarta warga. Meminjam bahasa Kang Pepih, 10
netiket ini seperti "Ten Commandments" atau 10 firman
Tuhan yang harus ditaati oleh semua pewarta warga.
Berikut "Ten
Commandments" bagi para pewarta warga:
1. Ingatlah orang
2. Taat kepada standar prilaku
online yang sama kita jalani dalam kehidupan nyata
3. Ketahuilah dimana kita berada
di ruang cyber
4. Hormati Waktu dan Bandwith
orang lain
5. Buatlah diri kita kelihatan
baik ber-online
6. Bagilah ilmu dan keahlian
7. Menolong agar api peperangan
tetap terkontrol
8. Hormati privasi orang lain
9. Jangan menyalahgunakan
kekuasaan
10. maafkanlah jika orang lain
berbuat kesalahan.
Kesimpulan, walaupun dalam
bekerja atau menulis seorang Pewarta Warga tidak dibekali code of
conductseperti jurnalis profesional, tetap harus memiliki netiket.
Jika pewarta warga dan
netizen sudah mengetahui poin-poin SE terkait Ujaran Kebencian (hate
speech), tujuh dosa besar yang harus dihindari dan "Ten
Commandments", maka tidak alasan untuk takut bekerja atau menulis di
dunia maya.
Rekomendasi saya, jadikan
buku Kang Pepih "Citizen Journalism" sebagai
rujukan jika ingin menjadi Pewarta Warga, karena buku tersebut seperti
"Kitab Suci" bagi para Pewarta Warga dan Netizen.
sumber referensi :
-https://id.wikipedia.org/wiki/Ucapan_kebencian
-http://www.rappler.com/indonesia/111180-kontroversi-hate-speech-polri
-http://www.rappler.com/indonesia/111110-surat-edaran-hate-speech?
utm_source=twitter&utm_medium=referral&utm_medium=share_bar
-http://www.kompasiana.com/ridwan78/terkait-surat-edaran-kapolri-ini-poin-poin-hate-
speech-dan-netiket-yang-harus-diketahui-pewarta-warga_5634fd4f139373ef0a60ad78