Selasa, 10 November 2015

"HATE SPEECH" UJARAN KEBENCIAN

Ujaran kebencian adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain.


Dalam arti hukum, Hate speech adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku Pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut. Website yang menggunakan atau menerapkan Hate Speech ini disebut Hate Site. Kebanyakan dari situs ini menggunakan forum internet dan berita untuk mempertegas suatu sudut pandang tertentu.

Pada tanggal 08 Oktober 2015 Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah mensosialisasikan Surat Edaran (SE) Nomor SE/6/X/2015 kepada seluruh anggota Polri tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) yang ditandatangani Kapolri Badrodin Haiti. Tujuannya agar anggota Polri memahami dan mengetahui bentuk-bentuk ujaran kebencian diberbagai media dan kegiatan publik yang berpotensi menimbulkan konflik horizontal.

SE ini merujuk, antara lain, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No 2/2002 tentang Polri, UU No 12/2008 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta UU No 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

Menurut surat edaran tesebut, ujaran kebencian (hate speech) adalah tindak pidana yang berbentuk, penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, penyebaran berita bohong, dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial.

Aspeknya meliputi suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan dan kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, dan orientasi seksual.
Ujaran kebencian dapat melalui media kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum atau demonstrasi, ceramah keagamaan, media massa cetak maupun elektronik, dan pamflet.

Dari poin-poin diatas, potensi terbesar sumber Ujaran Kebencian (hate speech) adalah melalui media sosial seperti Twitter dan Facebook serta blog-blog independen. 

Media sosial seperti Twitter dan Facebook adalah inovasi terbesar awal abad 21 ini. Tidak hanya sebagai media Conecting  dan Sharing, media sosial mampu melakukan perubahan besar seperti revolusi "Arab Spring" di Timur Tengah juga menjadi media kampanye politik yang efektif, seperti pada pemilihan presiden (Pilpres) AS yang menjadikan Barack Obama Presiden Kulit Hitam pertama di negeri Paman Sam atau yang menghantarkan "tukang kayu" dari Solo menjadi RI-1 pada Pilpres Indonesia 2014.

Seperti hukum alam, selalu ada sisi positif dan negatif, media sosial pun demikian. Sisi negatif media sosial adalah maraknya hate speech di lini-masa setiap harinya yang berpotensi menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat.

Publik pasti akan mendukung upaya Polri untuk menangkal konflik akibat ungkapan yang menimbulkan kebencian di ruang publik, apalagi jika dilihat dari kacamata kebangsaan, Indonesia sebagai negara yang heterogen.

Namun, SE Kapolri ini jangan sampai disalahgunakan oleh oknum-oknum untuk melakukan kriminalisasi terhadap  individu dan kelompok masyarakat karena alasan-alasan tertentu atau digunakan oleh pemerintah untuk membungkam lawan-lawan politik dan  masyarakat warga (civil society). Jika terjadi penyalahgunaan fungsi dari SE tersebut, maka Indonesia akan kembali ke jaman kegelapan seperti di era Orde Baru, yakni "dikebirinya" kebebasan berpendapat.

LATAR BELAKANG DITERBITKANNYA SURAT EDARAN

Menurut Badrodin, pembahasan hate speech sudah dimulai sejak zaman Wakil Kapolri dijabat Nanan Soekarna pada periode Maret 2011 - Agustus 2013.

“Kami mengadakan pembahasan di seminar-seminar,” kata Badrodin.
Setelah lebih dari lima tahun pembahasan, akhirnya Polri sampai pada kesimpulan bahwa surat edaran mengenai ujaran kebencian harus segera dikeluarkan. “Lebih cepat lebih baik,” katanya.

Karena itu, Badrodin akhirnya menekennya dan mengirimkan surat tersebut hingga ke tingkat Polsek. Keputusan ini juga diambil setelah berdasarkan evaluasi, jajaran di bawah masih ragu menerapkan pasal hate speech yang sebelumnya diatur dalam KUHP tersebut.
Ujaran kebencian diatur di pasal 310, Pasal 311, 315, 317, dan 318 KUHP.

Apa latar belakangnya?

Menurut Kapolri sudah banyak contoh bahwa ujaran kebencian telah menjadi bibit konflik. “Seperti kejadian kemarin, waktu JakMania rusuh,” katanya.

Kepolisian Daerah Metro Jaya sebelumnya memproses hukum 10 orang yang diduga JakMania, sebutan untuk suporter Persija Jakarta, atas aksi pengrusakan dan seorang lainnya yang diduga sebagai penghasut massa lewat pesan pendek, dalam laga partai final Piala Presiden yang mempertemukan Persib Bandung dan Sriwijaya FC.

Persib adalah musuh bebuyutan Persija yang harus berlaga di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Kejadian seperti itu, menurut Badrodin, terus berulang dan kerap menimbulkan keresahan di masyarakat.

Siapa saja yang bisa terjerat?

Badrodin mengatakan bahwa surat edaran ini untuk memperjelas perbedaan antara dimensi ujaran kebencian dan kebebasan berekspresi.

“Ujaran kebencian itu yang mengarah pada pengrusakan, penghasutan, dan sebagainya,” katanya.

Jadi, menurut Badrodin, hanya mereka yang melakukan hasutan mengarah pada pengrusakan saja yang bisa terjerat.

Dalam salah satu poin surat edaran, Kapolri juga menegaskan bahwa media ujaran kebencian salah satunya adalah ceramah keagamaan. Seperti apa ceramah keagamaan yang dimaksud Kapolri?

“Semua ceramah yang mengajak pada gerakan pengrusakan,” katanya.
Jika sudah ada ajakan untuk bergerak, penghasutan, maka ceramah tersebut bisa tergolong ujaran kebencian.

Bagaimana dengan khatib shalat Jum'at yang kerap berceramah soal mengkafirkan agama lain? “Itu tidak termasuk hate speech, itu kan menyampaikan apa yang ada di kitab suci,” ujarnya.

Lalu bagaimana dengan ceramah yang dilakukan pemuka agama di kelompok-kelompok agama seperti Front Pembela Islam (FPI) yang kerap melontarkan kritik keras pada kelompok lain atau presiden?

“Itu kan delik aduan, kalau dia menghina presiden. Asal jangan menghasut,” katanya.

Sebagai seorang netizen, dengan adanya SE Kapolri ini tentu kita akan lebih berhati-hati membuat tulisan atau menyebarkan berita. Namun tetap, tidak boleh kehilangan sikap kritis terhadap permasalahan-permasalahan sosial yang ada disekitar.

Mengutip buku Kang Pepih Nugraha, berjudul Citizen Journalism, Menurut Kang Pepih, selama netizen dan pewarta warga mampu mencegah "Tujuh Dosa Besar", maka aman untuk mengaktualisasikan diri lewat tulisan di dunia maya.

Meskipun tujuh dosa besar ini ditujukan kepada pers media mainstream, tetapi menjadi dasar moral citizen reporter untuk bekerja atau menulis. 

Ketujuh besar itu ialah :

1. Penyimpangan informasi
2. Dramatisasi fakta
3. Serangan privasi 
4. Pembunuhan karakter
5. Eksploitasi seks
6. Meracuni pikiran anak
7. Penyalahgunaan kekuasaan

Masih menurut buku Citizen Journalism Kang Pepih Nugraha, seorang Pewarta Warga selain harus menghindari "tujuh dosa besar", juga harus memiliki etika ketika berinternet. Kang Pepih menyebutnya dengan Netiket.

Netiket berasal dari kata networks dan etiquette, bila disatukan menjadi nettiquette, yang untuk mudahnya jika dibahasa indonesiakan menjadi netiket. Prinsipnya sama seperti etiket atau sopan santun pada umumnya, hanya saja ranahnya ada di dunia maya.

Menurut Kang Pepih, ada 10 netiket yang harus diketahui para pewarta warga. Meminjam bahasa Kang Pepih, 10 netiket ini seperti "Ten Commandments"  atau 10 firman Tuhan yang harus ditaati oleh semua pewarta warga.

Berikut "Ten Commandments" bagi para pewarta warga:  

1. Ingatlah orang
2. Taat kepada standar prilaku online yang sama kita jalani dalam kehidupan nyata
3. Ketahuilah dimana kita berada di ruang cyber
4. Hormati Waktu dan Bandwith orang lain
5. Buatlah diri kita kelihatan baik ber-online
6. Bagilah ilmu dan keahlian
7. Menolong agar api peperangan tetap terkontrol
8. Hormati privasi orang lain
9. Jangan menyalahgunakan kekuasaan
10. maafkanlah jika orang lain berbuat kesalahan.

Kesimpulan, walaupun dalam bekerja atau menulis seorang Pewarta Warga tidak dibekali code of conductseperti jurnalis profesional, tetap harus memiliki netiket.

Jika pewarta warga dan netizen sudah mengetahui poin-poin SE terkait Ujaran Kebencian (hate speech), tujuh dosa besar yang harus dihindari dan "Ten Commandments", maka tidak alasan untuk takut  bekerja atau menulis di dunia maya.

Rekomendasi saya, jadikan  buku Kang Pepih "Citizen Journalism" sebagai rujukan jika ingin menjadi Pewarta Warga, karena buku tersebut seperti "Kitab Suci" bagi para Pewarta Warga dan Netizen. 

sumber referensi :
-https://id.wikipedia.org/wiki/Ucapan_kebencian
-http://www.rappler.com/indonesia/111180-kontroversi-hate-speech-polri
-http://www.rappler.com/indonesia/111110-surat-edaran-hate-speech?
 utm_source=twitter&utm_medium=referral&utm_medium=share_bar
-http://www.kompasiana.com/ridwan78/terkait-surat-edaran-kapolri-ini-poin-poin-hate-
 speech-dan-netiket-yang-harus-diketahui-pewarta-warga_5634fd4f139373ef0a60ad78


Unknown

About Unknown

I'm just beliebers

Subscribe to this Blog via Email :